Confession -First-


“Kau sudah gila?!” tanya Mina, salah satu sahabatku. Aku tak mampu menjawab pertanyaannya karena hal ini memang cukup keterlaluan. Maksudku diluar batas kewajaran. Dapat kulihat wajah Mina yang sedang menggeleng itu menatapku tak percaya. Tapi aku yakin bersama dengan kediamanku, ia tahu aku tidak sedang bercanda ataupun bermain-main dengan ucapanku.

“Ia sekelas denganmu, kalau kau lupa. Ia akan mengenali suaramu, dan ia akan semakin menjauh darimu. Bahkan bukan tak mungkin kau akan menjadi bahan pembicaraan di jurusanmu karena menyatakan cinta pada lelaki yang sudah punya pacar. Dimana harga dirimu?!” katanya dengan amarah yang bisa kulihat di kedua mata indahnya.

Aku semakin menunduk, dalam hati membenarkan ucapannya. Apa yang Mina katakan memang sepenuhnya benar. Dan aku memang merasa belum siap dengan segala resikonya. Akupun dapat memastikan aku tak akan bisa menatap wajahnya lagi setelah ini. Tapi aku tak punya pilihan lain. Aku bersungguh-sungguh ingin menyatakan perasaanku padanya. Seorang pemuda pendiam namun begitu mengagumkan yang kukenal sejak aku duduk dibangku kuliah hingga kini aku menginjak semester lima.

Pemuda yang begitu banyak mengikat hati mahasiswi sejurusanku bahkan angkatan-angkatan dibawahnya. Pemuda yang sudah kusukai sejak setahun yang lalu namun telah memilih tambatan hatinya. Ya, seperti yang Mina telah katakan, ia sudah memiliki kekasih. Tapi meskipun aku sudah mengetahui hal ini, hatiku masih tak bisa melepaskannya. Hingga pada akhirnya tibalah aku pada keputusanku saat ini. Sebagai penutup kisah cinta sepihakku selama setahun ini. Aku akan mengakhirinya. Bukan untuk memulai kisah baru seperti yang dipikirkan Mina.

Setelah lama terdiam, aku mengangkat kepalaku dan menatap Mina dan Ririn, sahabatku yang lain. Berbeda dengan Mina, wajah Ririn begitu tenang dan penuh senyum. Seolah memberi dukungan untukku agar terus maju, sebagai usaha akhirku. Ririn dan Mina memang sosok yang berbeda. Ririn adalah orang yang terbuka pada orang lain termasuk soal perasaannya, sedangkan Mina lebih anggun dan begitu menjunjung tinggi adab dan logika. Meskipun kami berbeda, kami bisa mengatasinya dan menjadikan perbedaan itu sebagai asset berharga diri kami.

“Maafkan aku Mina, tapi keputusanku sudah bulat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku menyukainya. Hanya itu dan hanya itu yang aku pikirkan saat ini. Resikonya, akan kuhadapi nanti saat semuanya sudah terjadi” kataku menatap keduanya seraya tersenyum lemah. Keraguan dan ketakutan masih menguasai hatiku, berharap dengan kata-kataku itu akupun mampu meyakinkan diriku sendiri sebagaimana meyakinkan mereka. Mina menghela napas putus asa, sedangkan Ririn menepuk pelan punggungku, berusaha memberi kekuatan.

“Berusahalah yang terbaik. Semangat” kata Ririn seraya tersenyum. Akupun mengangguk. Dengan rasa enggan yang masih terlihat Mina mulai mendekatiku dan memelukku erat yang langsung aku balas tak kalah erat.

“Jangan sampai kau menyesal ya” katanya disela pelukan kami. Kujawab dengan dengungan. Mina pun melepas pelukannya. Sekali lagi kutatap wajah kedua sahabatku. Memang benar kata orang, hanya uluran tangan teman yang bisa mencabut duri yang ada didalam hati kita. Dan akupun merasa begitu sama, aku bahagia bersama mereka. Dengan dukungan mereka aku akan memulai misiku sebentar lagi. Misi cinta untuk pertama kalinya.

----------

“Kau yakin?” kata Mina untuk kesekian kalinya sesaat aku akan menekan tombol hijau tanda aku akan mulai menelpon pemuda itu. Dan akupun mengangguk untuk kesekalian kalinya pula untuk menjawab pertanyaannya. Sesekali kuhembuskan napas dalam untuk mengurangi kegugupanku. Berharap bisa mengurangi pula laju detak jantungku yang sangat tak bisa dikatakan lambat. Bahkan rasanya jantungku bisa saja mendobrak tulang rusukku jika ia terus berdegup lebih kencang. Aku cukup khawatir aku bisa terkena penyakit jantung setelah ini.

Akupun kembali memfokuskan diriku pada smartphone ditanganku. Menatap nomor kontaknya dan bersiap kembali menelponnya. Setelah sebelumnya kukirim pesan, menanyakan apakah ia sibuk atau tidak malam ini. Setelah ia mengatakan ia punya waktu kosong, semakin bulatlah niatku. Kuanggap itu adalah pertanda baik, karena biasanya ia akan sibuk hingga tengah malam. Meskipun sekarang jam tanganku masih menunjukkan pukul 22.00, aku yakin ia belum tidur.

Setelah membaca doa dan mengambil napas dalam, kutekan tombol hijau itu dan dapat dilihat nomorku yang memanggilnya. Seperti hatiku yang berharap bisa juga sampai padanya meskipun tak pernah kutunjukkan pada siapapun sebelumnya. Tak lama dapat kudengar suaranya. Suara merdunya yang biasa kudengar dikelas saat ia mengobrol dengan teman-temannya. Sungguh, andai suara itu bisa menjadi lullaby pengantarku tidur, betapa indahnya mimpiku nanti. Namun aku tahu hal itu tak akan pernah terjadi, jadi sebelum aku terus berharap lebih dari ini dan membuat hatiku semakin terluka lebih baik kuakhiri semuanya.

“Halo” ucapnya sesaat setelah teleponnya ia angkat. Hatiku semakin berdebar mendengar ucapannya.

“Halo, aku ingin mengatakan sesuatu, tapi bisakah kau tidak mengatakan apa-apa hingga aku menyelesaikan ucapanku?” jawabku sesuai dengan rencana kami. Sebelum melakukan eksekusi sukaku malam ini, kami sudah merencanakan semuanya, termasuk teks yang nanti akan aku bacakan saat aku menyatakan perasaanku. Karena aku tak begitu yakin akan mampu berkata dengan benar ditengah situasi dimana aku bahkan tak mampu bernapas dengan baik. Dan jadiah teks pernyataan cintaku yang kutulis dengan pendek namun sepenuh hati dan makna berikut teknik pengakuanku.

“Eum” dengungnya singkat, menjawab permintaanku. Dengan ragu mulai kubaca teks tersebut.

“Aku ingin mengatakan bahwa aku sudah menyukaimu sejak setahun yang lalu. Aku tidak berharap kamu membalas perasaanku, aku hanya ingin kamu tahu. Dan kamu juga tidak usah khawatir karena aku akan mengurusi perasaanku sendiri. Sehingga kamu tidak perlu canggung ataupun menghindariku. Terima kasih untuk semuanya. Aku sungguh bahagia karena orang yang kusuka adalah dirimu. PIP” tepat setelah kukatakan semuanya bahkan sebelum ia berkata sepatah katapun aku memutus sambungan telepon kami.
Kusentuh dadaku yang terasa seperti akan meledak. Dengan pelan kutatap wajah Ririn dan Mina. Bisa kulihat mereka sedan menahan tawa yang membuatku mengernyitkan dahi karena bingung.

“Ada yang salah?” tanyaku dan tepat setelah itu, tawa mereka meledak. Aku semakin tak mengerti. Apakah ada yang aneh dengan kata-kataku? Aku semakin memandang bingung pada mereka. Tak berapa lama tawa mereka mulai mereda.

“Gaya berbicaramu seperti robot yang sedang membaca teks” kata Mina yang membuta mereka kembali tertawa. Sementara aku hanya bisa mengelus tengkukku malu. Namun setelahnya mereka tersenyum seraya memelukku.

“Kau sudah melakukan yang terbaik” kata Mina seraya mengelus punggungku.

“Setelah ini kau akan bebas dan lega” lanjut Ririn seraya melepas pelukan kami. Aku hanya bisa menatap mereka dengan mata yang berkaca-kaca.
Aku sadar disinilah kisah cinta pertamaku berakhir. Didalam kamar kos yang berantakan, teman-temanku yang sesekali masih tertawa, selembar kertas penuh makna dan sambungan telepon yang terputus bahkan sebelum ia memberikan jawabannya. Semoga setelah ini aku bisa lebih bahagia dan membuka hati untuk cintaku yang selanjutnya. Dan semoga bukan lagi cinta sepihak yang membawa luka.

0 komentar:

Posting Komentar