Penyataan ini tertera dalam berita yang menjadi bahan koreksi dalam kuliah Penulisan Berita di gedung Z (14/11/2014). Berita tersebut ditulis oleh Febi Vitria Handayani, salah satu mahasiswa Jurnalistik 3B yang mengaku mendapatkan pertanyaan tersebut dari narasumbernya, Intan Resika. Enjang Muhaemin, dosen pengampu mata kuliah Penulisan berita dan objek dari pertanyaan tersebut terlihat kikuk saat mengoreksi bagian ”Kumisnya yang lucu” yang berada dalam paragraph terakhir berita tersebut.

Jum’at itu, materi kuliah berlanjut pada Editing Berita yang membahas berita Febi sebagai contoh cara pengeditan. Saat berita berlanjut pada paragraph terakhir, kelas yang semula cukup hening berubah menjadi penuh tawa. Tema yang diambil Febi sendiri adalah alasan mengapa mata kuliah Penulisan Berita menjadi menarik. Dan menurut Intan Resika, alasannya adalah kumis Enjang yang lucu. Pembawaan Enjang yang santai namun cerdas, mampu membuat suasana menjadi cair dan mahasiswa tetap bisa menangkap penjelasannya. Ternyata berubah menjadi canggung setelah mendengar komentar tentang kumisnya.


Materi ini disampaikan Enjang Muhaemin pada kuliahnya bersama mahasiswa Jurnalistik 3B di gedung Z, Jum’at 14 November 2014. Menurut dosen Penulisan Berita tersebut, masyarakat terbiasa membaca satu kalimat dalam satu tarikan nafas. Namun, ada beberapa beberapa berita yang kalimatnya panjang, bahkan sampai lebih dari 20 kata dalam satu kalimat. Padahal seharusnya panjang kalimat dalam suatu berita maksimal 14 kata.
Enjang menilai, jika suatu kalimat dibuat terlalu panjang, masyarakat akan membaca sambil menahan napas yang berbahaya bagi kesehatan. Kebiasaan menahan napas akan membuat napas menjadi sesak, dan tubuh kekurangan oksigen. Efeknya adalah pusing dan tubuh terasa lemas. Selain itu, kalimat dalam berita menjadi tidak efektif. Karena kalimat efektif adalah kalimat yang memenuhi kriteria jelas, sesuai dengan kaidah, ringkas, dan enak dibaca. Dengan memiliki kalimat yang panjang, masyarakat akan merasa tidak nyaman dan beritapun menjadi kurang ringkas.


Seperti sebuah pertemuan, perpisahan pun berjalan beriringan bersama. Seperti perputaran waktu, akan ada akhir untuk segalanya. Bahkan bagi sebuah lingkaran yang bulat. Di garis yang tak berujung itu, pasti ada titik dimana semua bermula dan berakhir.Titik dimana mungkin semua orang telah lelah melewatinya tetapi tak akan pernah bisa lepas tanpanya. Tempat dimana tangis dan tawa menghiasinya. Saat dimana suka dan duka terukir dalam takdirnya. Saat tautan itu terikat atau terlepas tak kasat mata. Disitulah saatnya untuk belajar menerima. Disanalah saat senyuman tulus diuji tanpa terasa. Disaat itu semua mulai berbeda. Memiliki cara pandang yang berbeda. Berjalan dari sudut yang berbeda. Atau berbicara dan tersenyum dengan makna yang berbeda, semua akan berjalan sesuai alurnya. Seperti mentari yang berganti rembulan. Seperti muda yang menjadi tua.
Setiap hal memiliki waktunya sendiri. Berjalan pada jalurnya sendiri. Dengan halangan yang pasti akan mengikuti. Seperti berlalunya hari dilengkapi terbenamnya  sang matahari. Begitu pula hidup yang penuh keajaiban yang berarti.Tak seperti tenggelamnya matahari atau munculnya gerhana yang mampu diprediksi. Tapi seperti takdir yang berjalan tanpa bisa “disetir” sendiri. Hidup yang penuh kejutan tanpa pernah sunyi. Dan hidup yang berarti jika mampu dipahami.
Tanpa bisa dipungkiri, hidup tak kan pernah berlari sejauh rembulan melewati sunyi. Sejatuh meteor ke bumi. Atau seberbeda hitam dan putih. Akan ada satu hal yang menghiasi. Sang kemurnian sejati, diri sendiri.Tapi itulah keindahan yang murni. Disitulah kepastian sejati. Dan disanalah orang mampu bermimpi.
14 Februari 2014
Empat puluh empat hari telah berlalu dari tahun 2013. Yang berarti telah empat puluh empat hari pula kulewati tahun 2014.Padahal kurasa baru kemarin aku mendengar suara letus kembang api mewarnai langit kota Bandung.Baru kemarin aku memulai hidup sendiri di ibukota Jawa Barat ini sendiri sebagai seorang mahasiswa Agustus lalu. Dan baru kemarin aku menangis menerima surat kelulusanku di bulan lahir Ibu Kartini. Waktu berlalu begitu cepat. Bagai peluru yang membelah angin. Tak kan bisa dihentikan, apa lagi diulang. Memori yang terjadi ditahun 2013 perlahan mulai menghilang terbawa oleh detakan waktu yang terus begerak dengan cepat. Saat indah yang membawa senyum. Saat sedih yang membawa kekuatan. Rasa haru yang menghangatkan hati. Dan rasa legayang terus membawa syukur. Perlahan terhapus. Meski aku menolak dan memberontak, kenangan itu akan berlalu begitu saja.

Malam ini begitu tenang. Gunung yang meletus kemarin malam membuat langit yang biasanya berhias kerlingan bintang dan kelembutan dewimalam kini terutup debu yang kudengar berbahaya.Kukecilkan volume lagu yang sedangmengalun dari laptop tercintaku. Lagu yang kudengar terasa lebih indah dari biasanya. Kubuka buku kuning yang telah menemaniku setahun ini. Buku yangtertulis The Journey disampulnya. Buku yang akan terus mengingatkanku akan kenangan yang tak ingin ku lupakan. Terlihat dihalaman pertama dimana profil kutertulis didalamnya dengan kalimat terakhirnya “ aku hanya akan menyebutkan nama, alamat dan tanggal lahirku karena kau akan lebih tau aku yang sebenarnya nanti “. Ku baca satu persatu lembar penuh makna itu, dengan sesekali tersenyum. Hingga halaman terakhir yang kutulis, tanggal 20  Januari 2014. Aku tersenyum tipis. Sudah lama memang. Tapi kini aku menyadarinya. Aku telah mampu mengatakannya. Perasaanyang selalu kututup rapat. Aku mampu menuliskannya tanpa kebohongan setitikpun.Meski tak banyak yang aku tulis, tapi aku sadar, aku telah jujur pada diriku.

Tulisan itu, tiap katanya berasal dari hatiku. Tiap kalimatnya perlahan melepaskan gundahku, sedihku dan bahagiaku. Tiap paragrafnya mengatakan perasaanku. Aku semakin sadar menulis itu tak hanya menjadi  sebuah kegiatan bagiku. Tak hanya menggambarkan perasaanku saat itu. Tapi juga meruntuhkan pintu hati yang kukunci rapat. Kejujuran hati yang terus tersembunyi. Kesendirian hati yang tak pernah terobati. Tanpa sadar tulisan itu mengusir pergi rasa sepiku, membuat kumerasa tak sendiri. Lebih dari itu, membuatku berhenti berbohong dan bersembunyi.

Saat aku bersedih, aku terus berpkir aku tak apa tanpa bisavmengungkapkannya. Saat bahagia aku hanya mampu tersenyum tanpa menunjukkannya.Saat aku gundah aku hanya mampu menggigit kuku tanpa tahu solusinya. Hingga akhirnya semua memori itu tehapus dengan sendirinya, bahkan tak kusadari. Tapi saat kutuliskan rasa sedihku, aku mampu menangisinya. Saat aku bahagia aku mampu mengatakannya. Dan saat aku gundah, aku mampu menyelesaikannya. Tulisan itumengevaluasiku. Tulisan itu  membuat kumampu mengekspresikan diriku. Membuatku melakukan hal yang sebelumnya sulitkulakukan.

Tangis itu. Tawa itu. Gelisah itu. Kini aku bisamengenangnya. Aku bisa terus merasakannya. Itu tak hanya menjadi memori. Tapi jam yang selalu berdentang yang selalu mengingatkanku kan diriku. Hal yang sacral ditengah semua perbedaaan, diriku. Membuat hatiku terus terasa hangat. Tak peduli sedingin apa hari itu. Saat aku menuliskannya, aku bisa merasakan dinginitu. Perlahan tapi pasti, aku mampu memperaiki sikapku yang dingin dan mulai memandang kesekitar. Mengatakan apa yang aku rasakan. Berusaha lebih jujur lagi.

Meski waktu berlalu semakin cepat, aku tak akanmelupakannya. Meski hatiku mendiamkannya, aku akan terus jujur. Memperlihatkan ketulusanku dengan tinta yang terus menggores lebaran putih itu. Meski aku taksadar sejak kapan aku mulai menulis, tapi aku bahagia waktu itu datang. Saataku mampu mengatakannya tanpa rasa menyesal atau pun takut. Saat aku mampu  mengungkapkannya menjadi barisan kata yang penuh makna. Saat aku mampumenyadari siapa diriku. Bagai cermin yang terus mengatakan kebenaran. Memantulkan rasa yang tak pernah berubah seperti saat menuliskannya.

Perlahan rasa jujurku terbuka, begitu pula kesempatanku untuk berpikir lebih baik. Daripada lari dari masalah seperti dulu, aku menemukan problem solvingku disetiap lembar tulisanku. Perlahan tapi pasti masalah itu, aku mampu mengatasinya. Ku mampu menghadapinya dengan baik dan menjadi memori yang terus kutulis huruf demi hurufnya. Aku terus berkaca darimasalh dan tulisanku. Aku menjadi lebih dewasa.Menjadi lebih berani. Menjadi lebih kuat tiap harinya. Mulai berjaan dengan berbagai memori yang akan menjadi pengalaman, dan mampu menjadi guru yang terbaik saat semua rasa mulai melengkapi hari hariku yang terasa lebih berarti.

Sedikit demi sedikit, perlahan tapi pasti. Hingga kini kusadari sepenuh hati. Belajar menulis berarti belajar membuka hati. Belajarjujur pada diri sendiri. Belajar berani menatap diri.Belajar mengerti diri sendiri.Belajar mengatakan apa yang ada dihati. Belajar mengoreksi. Belajarmenelesaikan masalah yang dihadapi. Tulisan itu sungguh, telah banyak merubahku.Menjadi aku yang berbeda. Aku yang berteman. Aku yang jujur. Dan aku yang dewasa.

Tulisan itu bukan hanya sebuah rangkaian kata, tapi juga kejujuran hati, cerminan diri, dan pelajaran tiap hari.