14 Februari 2014
Empat puluh empat hari telah berlalu dari
tahun 2013. Yang berarti telah empat puluh empat hari pula kulewati
tahun 2014.Padahal kurasa baru kemarin aku mendengar suara letus kembang
api mewarnai langit kota Bandung.Baru kemarin aku memulai hidup sendiri
di ibukota Jawa Barat ini sendiri sebagai seorang mahasiswa Agustus
lalu. Dan baru kemarin aku menangis menerima surat kelulusanku di bulan
lahir Ibu Kartini. Waktu berlalu begitu cepat. Bagai peluru yang
membelah angin. Tak kan bisa dihentikan, apa lagi diulang. Memori yang
terjadi ditahun 2013 perlahan mulai menghilang terbawa oleh detakan
waktu yang terus begerak dengan cepat. Saat indah yang membawa senyum.
Saat sedih yang membawa kekuatan. Rasa haru yang menghangatkan hati. Dan
rasa legayang terus membawa syukur. Perlahan terhapus. Meski aku
menolak dan memberontak, kenangan itu akan berlalu begitu saja.
Malam
ini begitu tenang. Gunung yang meletus kemarin malam membuat langit
yang biasanya berhias kerlingan bintang dan kelembutan dewimalam kini
terutup debu yang kudengar berbahaya.Kukecilkan volume lagu yang
sedangmengalun dari laptop tercintaku. Lagu yang kudengar terasa lebih
indah dari biasanya. Kubuka buku kuning yang telah menemaniku setahun
ini. Buku yangtertulis The Journey disampulnya. Buku yang akan terus
mengingatkanku akan kenangan yang tak ingin ku lupakan. Terlihat
dihalaman pertama dimana profil kutertulis didalamnya dengan kalimat
terakhirnya “ aku hanya akan menyebutkan nama, alamat dan tanggal
lahirku karena kau akan lebih tau aku yang sebenarnya nanti “. Ku baca
satu persatu lembar penuh makna itu, dengan sesekali tersenyum. Hingga
halaman terakhir yang kutulis, tanggal 20 Januari 2014. Aku tersenyum
tipis. Sudah lama memang. Tapi kini aku menyadarinya. Aku telah mampu
mengatakannya. Perasaanyang selalu kututup rapat. Aku mampu
menuliskannya tanpa kebohongan setitikpun.Meski tak banyak yang aku
tulis, tapi aku sadar, aku telah jujur pada diriku.
Tulisan
itu, tiap katanya berasal dari hatiku. Tiap kalimatnya perlahan
melepaskan gundahku, sedihku dan bahagiaku. Tiap paragrafnya mengatakan
perasaanku. Aku semakin sadar menulis itu tak hanya menjadi sebuah
kegiatan bagiku. Tak hanya menggambarkan perasaanku saat itu. Tapi juga
meruntuhkan pintu hati yang kukunci rapat. Kejujuran hati yang terus
tersembunyi. Kesendirian hati yang tak pernah terobati. Tanpa sadar
tulisan itu mengusir pergi rasa sepiku, membuat kumerasa tak sendiri.
Lebih dari itu, membuatku berhenti berbohong dan bersembunyi.
Saat
aku bersedih, aku terus berpkir aku tak apa tanpa
bisavmengungkapkannya. Saat bahagia aku hanya mampu tersenyum tanpa
menunjukkannya.Saat aku gundah aku hanya mampu menggigit kuku tanpa tahu
solusinya. Hingga akhirnya semua memori itu tehapus dengan sendirinya,
bahkan tak kusadari. Tapi saat kutuliskan rasa sedihku, aku mampu
menangisinya. Saat aku bahagia aku mampu mengatakannya. Dan saat aku
gundah, aku mampu menyelesaikannya. Tulisan itumengevaluasiku. Tulisan
itu membuat kumampu mengekspresikan diriku. Membuatku melakukan hal
yang sebelumnya sulitkulakukan.
Tangis itu. Tawa itu.
Gelisah itu. Kini aku bisamengenangnya. Aku bisa terus merasakannya. Itu
tak hanya menjadi memori. Tapi jam yang selalu berdentang yang selalu
mengingatkanku kan diriku. Hal yang sacral ditengah semua perbedaaan,
diriku. Membuat hatiku terus terasa hangat. Tak peduli sedingin apa hari
itu. Saat aku menuliskannya, aku bisa merasakan dinginitu. Perlahan
tapi pasti, aku mampu memperaiki sikapku yang dingin dan mulai memandang
kesekitar. Mengatakan apa yang aku rasakan. Berusaha lebih jujur lagi.
Meski
waktu berlalu semakin cepat, aku tak akanmelupakannya. Meski hatiku
mendiamkannya, aku akan terus jujur. Memperlihatkan ketulusanku dengan
tinta yang terus menggores lebaran putih itu. Meski aku taksadar sejak
kapan aku mulai menulis, tapi aku bahagia waktu itu datang. Saataku
mampu mengatakannya tanpa rasa menyesal atau pun takut. Saat aku mampu
mengungkapkannya menjadi barisan kata yang penuh makna. Saat aku
mampumenyadari siapa diriku. Bagai cermin yang terus mengatakan
kebenaran. Memantulkan rasa yang tak pernah berubah seperti saat
menuliskannya.
Perlahan rasa jujurku terbuka, begitu
pula kesempatanku untuk berpikir lebih baik. Daripada lari dari masalah
seperti dulu, aku menemukan problem solvingku disetiap lembar
tulisanku. Perlahan tapi pasti masalah itu, aku mampu mengatasinya. Ku
mampu menghadapinya dengan baik dan menjadi memori yang terus kutulis
huruf demi hurufnya. Aku terus berkaca darimasalh dan tulisanku. Aku
menjadi lebih dewasa.Menjadi lebih berani. Menjadi lebih kuat tiap
harinya. Mulai berjaan dengan berbagai memori yang akan menjadi
pengalaman, dan mampu menjadi guru yang terbaik saat semua rasa mulai
melengkapi hari hariku yang terasa lebih berarti.
Sedikit
demi sedikit, perlahan tapi pasti. Hingga kini kusadari sepenuh hati.
Belajar menulis berarti belajar membuka hati. Belajarjujur pada diri
sendiri. Belajar berani menatap diri.Belajar mengerti diri
sendiri.Belajar mengatakan apa yang ada dihati. Belajar mengoreksi.
Belajarmenelesaikan masalah yang dihadapi. Tulisan itu sungguh, telah
banyak merubahku.Menjadi aku yang berbeda. Aku yang berteman. Aku yang
jujur. Dan aku yang dewasa.
Tulisan itu bukan hanya sebuah rangkaian kata, tapi juga kejujuran hati, cerminan diri, dan pelajaran tiap hari.
0 komentar:
Posting Komentar