Chapter 4 Xian Part II To My Mom



Tak pernah ada kata maaf yang terucap dariku untukmu
Tak pernah ada kata terima kasih yang kukatakan padamu
Tak pernah ada kata sayang yang kuungkapkan padamu

Karena kupikir aku terlalu malu mengatakannya langsung padamu. Aku tak bisa melakukannya. Tanpa sadar aku menjadi berpura pura tak peka padamu, tak peduli dengan perasaanmu, tak mau mengerti hatimu.Aku melakukan apapun tanpa mau tahu kau merasa sulit. Kau takut menjadi tak adil, kau takut menyakiti hati kami, kau takut kami tak bahagia. Hingga kau tak kuaa menolak semua. Meskipu pada akhirnya kau yang menderita. Dan kami masih belum bisa mengerti dengan terus memaksakan kehendak kami padamu. Kembali dan terus mengulang kesalahan yang sama padamu.

Buah hati yang kau harapkan dapat sukses ini sudah banyak membuatmu kecewa. Dengan harapan  besar kau melepaskanku ke pesantren. Melepaskan egomu untuk bersamaku agar aku bisa menjadi dewasa dan menjadi anak yang solikha. Mengeluarkan biaya yang tak sedikit agar aku mau dan bisa masuk. Tapi, sekali lagi, aku mengecewakanmu. Tak hanya menghamburkan banyak uang, terus saja sakit, hingga akhirnya kau memenangkan egoku untuk kembali pada “kebebasan”. Memupuskan impian masa kecilmu untuk pergi kepesantren demi keegoisanku. Membuat uang yang kau kirimkan untukku yang diharapkan mampu membauatku nyaman, terbuang sia sia. Karena aku yang mengalah pada egoku yang tak mau diajari hidup sederhana.

 Anakmu yang tak mampu apa apa bahkan hanya dengan mengatakan maaf padamu ini sudah dewasa. Ia merasa sudah cukup untuk bisa mengatur semuanya sendiri. Ia pikir ia bisa mengatasi semuanya. Ia pikir ia akan bisa mengendalikan semuanya. Namun, pada akhirnya hanya membuatmu semakin susah dan repot. Aku tak bisa mengatur semuanya. Aku tak bisa mengatasinya. Dan aku tak bisa mengendalikannya. Sendiri. Aku, untuk kesekian kalinya membuatmu menderita.

Kau, yang selalu mengkhawatirkanku, memikirkanku, dan bersamaku. Kau, selalu bertanya padaku apa aku sudah makan sementara kau belum menelan sesuap nasi pun. Kau, yang selalu bertanya apa aku sehat sementara kau sedang menahan rasa sakit. Kau, yang setiap aku pulang menyisiri rambutku dan bercerita tentang masa kecilku. Meski aku sangat menyusahkanmu saat itu, kau bercerita dengan penuh senyuman.

Seperti air mancur di pegunungan, setinggi apa pun tanah itu memuntahan airnya tapi tak akan lebih tinggi dari pegunungan yang menjadi puncak yang mengairi. Begitu juga aku padamu. Sekeras apapun aku berusaha membalasnya bahkan itu tak ada bandingannya dengan tetesan air susu yang kau berikan untukku. Sebanyak air laut yang ku pandang bersamamu dulu bahkan tak mampu mengantikan bulir keringat yang kau teteskan untukku. Sebanyak apapun langkah yang aku tempuh hingga saat ini tak akan mampu membandingkannya dengan derai air matamu untukku. Air ku tak akan pernag bisa menyamai puncak gunungmu.

Senyum tulusmu
Belaian lembut tanganmu
Dekapan hangatmu
Raut wajah yang selalu kurindukan

Aku akan berusaha lebih baik lagi. Aku tak akan mengecewakanmu kali ini. Aku akan membawa senyum bangga untukmu kali ini. Aku akan membawa derai air mata bahagia kali ini. Aku akan bersungguh sungguh kali ini.

Jika didunia ini ada reinkarnasi atau ada kehidupan dari awal lagi, aku akan berdoa kepada Tuhan dengan seluruh hati dan perasaanku agar Ia mengizinkanku untuk kembali menjadi anakmu.Menjadi orang yang sangat beruntung bisa mengenal dan menyayangimu.

Maaf untuk semua yang tak termaafkan
Terima kasih untuk yang tak mampu ku balas
Dan aku menyayangimu untuk semua sayang yang tak mampu aku ungkapkan


Love You


Your Little Girl
Hildatun Najah
( My Last Day in home, Kamis  17 Oktober 2013 )

0 komentar:

Posting Komentar