Sense Of Ending

Aku terbangun dari tidurku yang belum begitu lama. Baru sekitar tiga jam aku memejamkan mata setelah sebelumnya, tak mampu pikiranku berhenti mengira-ngira apa yang akan terjadi hari ini. Sejak semalam perasaan tak tenang terus menggelayuti hatiku. Hingga akhirnya pada pukul 05.00 WIB aku berhasil memasuki alam mimpi yang bahkan masih terasa tak nyaman untukku. Dan kini aku terbangun dengan suara air langit yang mengetuk bumi dengan deras. Hujan di pagi hari yang membuat perasaanku semakin tak menentu.

Kunikmati sarapan dengan pikiran melayang entah kemana. Sepertinya sesuatu yang besar akan terjadi padaku hari ini. Aku terus terhanyut akan lamunanku hingga dering telepon masuk menggema diruang makan rumah yang kutinggali bersama kakakku ini. Kuraih smartphone yang berada tak jauh dariku dan melihat siapa yang menelponku dipagi hari. Dan tampaklah nama seseorang yang 2 tahun ini mewarnai hariku yang mendung. Menjadi pelangi di setiap hujanku. Menjadi bintang di setiap malamku. Dan menjadi awan di hamparan langitku.

Namun entah kenapa sekarang rasanya aku tak ingin menerima telepon itu. Meskipun tak ada pertengkaran yang terjadi kemarin dan hari-hari sebelumnya. Meskipun sudah menjadi kebiasaannya menelponku dan mengucapkan selamat pagi. Meskipun aku merindukan suaranya. Tapi entah kenapa kali ini perasaan buruk datang bersama telepon itu. Dengan helaan napas dan paksaan untuk berpikir positif, walaupun dengan berat hati, kuangkat panggilan itu.

“Halo” kataku
“Halo. Kau sudah bangun?” katanya. Suara yang kurindukan itu dengan lancar masuk ketelingaku. Namun bersamanya aku merasakan kebekuan. Suaranya tiba-tiba berubah menjadi dingin. Aku tak bisa membedakan apakah ini kenyataan atau dampak dari perasaan buruk yang masih belum hilang.
“Mmm. Iya, aku sedang sarapan” jawabku pelan. Ia tak membalas, yang terdengar hanya helaan napas dalam.
“Kenapa? Apa ada yang terjadi?” tanyaku. Sikapnya yang terasa begitu berbeda membuatku bertanya tanya. Ia dari sikapnya yang selalu jujur, sekarang aku merasa ada yang sesuatu yang salah. Perasaan buruk semakin terasa.
“Temui aku jam 10 ditempat biasa” katanya setelah mengambil napas dalam. Belum sempat aku menjawab, ia telah memutuskan sambungan telepon kami. Selama beberapa detik aku terdiam, berusaha mencerna apa yang terjadi. Ia bukan orang yang akan memutus sambungan telepon sepihak. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa aku terus saja merasa hal buruk akan terjadi?
---------
Kukeringkan rambutku yang masih meneteskan air sisa mandiku tadi. Dengan pelan kuusap rambutku dengan handuk seraya berjalan kearah meja rias yang terdapat dikamarku dan mendudukkan tubuhku disana. Menatap pantulan diriku di cermin. Wajahku terlihat begitu buruk. Lingkar hitam dibawah mataku. Tatapan yang kosong serta wajah yang agak pucat. Rasa yang terus membuatku khawatir itu ternyata membawa dampak yang begitu besar. Ditambah dengan teleponnya yang sungguh tak kumengerti.

Pikiran-pikiran buruk terus membayangi otakku. Kabut itu masih menyelimuti hatiku. Hingga berkali kali kuyakinkan diriku bahwa tak akan ada yang terjadi. Semuanya akan baik baik saja. Tidak ada yang perlu kutakutkan atau kukhawatirkan. Namun, sepertinya hal itu tak banyak memberi bantuan. Hatiku masih juga tak tenang.

Kulirik jam dinding dengan foto kami didalamnya. Aku kembali teringat akan ucapannya yang terasa dingin tadi. Namun segera kutepis pikiran itu, dan kembali memfokuskan diri melihat deretan angka yang tertera disana. Pukul sembilan tepat. Dengan segera kuganti pakaianku dan merias sedikit wajahku. Setidaknya agar aku tidak terlihat sakit.
--------
Kurasa diri dan hatikupun menyadari langkah kakiku yang melambat. Kafe yang biasanya bisa kutempuh dalam 15 menit berjalan kaki. Kini aku berharap kafe itu lebih jauh. Tanpa kusadari di tiap pelan langkahku kenangan antara kami terbayang dalam mataku. Tawa kami, tangis kami, dan waktu terbaik dan terburuk yang telah kami lalui dua tahun ini. Seperti kilatan hitam putih terus bergerak di pikiranku. Entah kenapa kurasa hari ini akan menjadi akhir dari segalanya.

Pikiran itu terus menghantuiku. Perasaan akan akhir itu terus terasa mendekat padaku seiring dengan langkahku yang dengan pelan menuju kearahnya.

Apa yang akan kukatakan?
Tatapan seperti apa yang harus kubuat?
Apakah saat aku berbalik meninggalkannya nanti akan terlihat menyedihkan?
Haruskah aku menangis dan memohon padanya?
Haruskah aku menunjukkan sisi terlemahku?
Atau haruskah aku berlatih berbohong dan berkata aku baik baik saja?

Aku semakin merasa bahwa beginilah akhirnya. Tanpa terasa napasku terasa berat. Dan tanpa kusadari aku telah sampai di tempat pertemuan kami. Tempat yang sudah banyak menyimpan cerita kami. Kupandang setiap sudut kafe bergaya klasik ini. Dua tahun hubungan kami, sudah pernah kududuki semua sisi kafe ini. Dan hal itu semakin membuatku takut.

Kulangkahkan kakiku masuk dan memesan. Senyum kasir itu hanya mampu kubalas senyum tipis tanpa tenaga. Kududukkan tubuhku di tempat paling sering kami duduki, tepat di samping jendela. Karena kami sama sama suka melihat jalanan kota dan menikmatinya. Kulihat jam tangan putih yang melingkar di pergelangan tanganku. Hadiah darinya, tepat di tiga bulan hubungan kami. Masih pukul 09.50. Masih ada sepuluh menit lagi untuk mempersiapkan diriku akan semua kemungkinan yang terjadi.

Kulihat bayangannya melalui kaca yang transparan. Sepertinya ia sudah datang. Ku dengar suara pintu yang terbuka dan derap langkah kaki yang menuju kearah kasir. Terus kutarik napas dalam. Berusaha agar terlihat baik baik saja dihadapannya. Hingga dapat kurasakan langkah itu mendekat kearahku.

Bersama langkah itu dapat kurasakan pula jantungku yang berdetak tak menentu. Terus kutenangkan diriku. Dan mengusir pikiran buruk dari kepalaku. Namun hingga tubuh itu mendudukkan dirinya dihadapanku. Kulihat wajah rupawannya. Air mataku merebak tanpa kurasa.
---------
Kupaksakan diriku untuk tersenyum padanya. Yang ia balas dengan senyum lembut yang ia paksakan pula.
“Kau sudah lama menunggu?” katanya yang hanya kubalas dengan gelengan. Ia terlihat canggung ditambah dengan sikapku yang menambah kekakuannya. Ia terlihat gugup dan ragu-ragu untuk mengatakan sesuatu. Sedari tadi ia tak menatap mataku dan terus saja meminum Ice Tea pesanannya.
“Aku ingin mengatakan sesuatu” katanya pada menit kelima kesunyian kami. Suaranya begitu membutaku takut. Aku hanya mengangguk tanpa menatap matanya. Aku rasa aku tak sanggup mendengarnya. Kata perpisahan yang mungkin saja terucap dari bibirnya. Aku tak memiliki keberanian untuk melepasnya pergi.

Perpisahan yang akan membawaku satu langkah kebelakang. Karena sejujurnya, ialah matahari dalam hidupku. Tak pernah terbayang lagi masa masa kelamku tanpa dirinya. Gadis pendiam yang dijauhi banyak orang. Tak jarang aku dinilai aneh yang tak banyak bicara. Sejak kecelakaan yang merenggut nyawa kedua orang tuaku. Saat itu pula bahagia terrenggut hingga ia datang dan mengembalikannya. Bahagiaku yang telah lama hilang.

Aku merasa marah pada diriku yang tidak bisa bersikap lebih baik padanya. Segala macam penyesalan terus masuk kedalam hatiku. Begitu besar pengorbanannya yang mau menerimaku apa adanya. Menit-menit yang berlalu seakan membunuhku. Tak bisakah waktu berhenti dan menghentikan semua yang akan diucapkannya?
“Semoga aku bisa menerima keputusannya dan menjadi lebih dewasa” batinku tepat sebelum ia mengucapkan kata kata.
“Ayo menikah” katanya pelan yang membuatku membeku selama beberapa saat. Untuk beberapa alasan aku tak mempercayai pendengaranku saat ini. Apakah aku terlalu stress hingga mengira ajakan berpisah menjadi ajakan menikah. Aku memandangnya tak percaya.
“Ayo kita menikah” katanya lagi, kali ini lebih keras. Membuatku mau tidak mau meyakini pendengarku. Kembali aku terdiam. Dapat kulihat matanya memancarkan penantian, kecemasan dan ketakutan. Hingga tak terasa air mata yang sedari tadi kutahan dengan bebas meluncur ke pipiku. Tanpa henti air asin itu membentuk aliran sungai.
“Kau kenapa? Ada yang salah dengan ucapanku?” katanya. Dapat kurasakan nada terkejut, panic dan khawatir dalam suaranya. Aku hanya dapat menjawabnya dengan gelengan. Air mataku masih saja mengalir.
---------
Kuteguk jus jeruk yang masih setengah. Kemudian kuseka sisa-sisa air mataku seraya menatapnya.
“Kau baik baik saja?” katanya. Aku kembali menjawab dengan anggukan.
“Sebenarnya kau kenapa? Apa kau mengatakan sesuatu yang menyakitimu? Kenpa kau tiba tiba menangis? Wajahmu juga terlihat pucat” katanya. Kutarik napas sejenak
“Aku hanya terkejut dengan apa yang kau katakan. Ini tak seperti yang kubayangkan. Kukira kau meminta tiba tiba bertemu karena ingin memutuskan hubungan kita. Aku sudah hampir gila karena tak merasa tenang sejak semalam. Aku sungguh takut” kataku. Ia akhirnya tersenyum. Senyum tulus yang membuatku selalu jatuh cinta padanya.
“Kau selalu seperti itu, berpikir buruk terhadap segala segala sesuatu. Termasuk dirimu sendiri. Mengapa kau berpikir aku akan memutuskanmu? Tak ada alasan aku melakukannya” katanya seraya tersenyum lagi.
“Aku hanya takut hal hal buruk akan terjadi tiba tiba. Dan aku juga merasa kau terlalu baik untukku. Dari semua gadis yang kau kenal kau memilihku. Hal itu saja terkadang masih membuatku tak percaya” kataku jujur. Aku bukan orang selayak dirinya untuk mendapat orang yang baik.
“Apa dengan memikirkan hal hal buruk kau akan baik baik saja? Bukankah itu semakin menyakitimu dan membuatmu gila? Aku mengerti betul ketakutanmu akan hal itu karena kecelakaan orangtuamu yang masih meninggalkan luka di hatimu. Tapi kau tak bisa setiap hari merasa tidak tenang dan melaluinya tanpa bahagia. Hampir setiap hari kau seperti ini. Kau terus berpikiran negative dan menjadi stress karenanya. Kau harus bisa maju dan kembali melangkah. Kau tidak bisa terus bersembunyi dan ketakutan” katanya penuh kesungguhan yang dapat kurasakan dengan jelas dihatiku.

Aku tersadar akan kesalahanku. Diriku yang terus menjadi pecundang. Diriku yang tak mau menatap ke depan. Diriku dan semua pikiran burukku. Ia menampar kesadaranku akan kenyataan dengan kata-katanya. Aku tahu aku tak bisa seperti ini terus. Tak pernah berpikiran positif dan terus merasa cemas. Tak pernah benar benar bahagia. Membiarkan diriku kosong dan membiarkannya terus berusaha mengisinya tapi tak pernah benar-benar kurasa. Aku merasa menyesal karena tanpa sadar terus berpikiran buruk tentangnya. Dan aku kini tak mau terus tersiksa. Aku ingin berubah.
“Kau mau berusaha merubahnya bersamaku?” katanya seraya tersenyum. Kembali menghangatkan hatiku.
“Kau mau bersamaku?” tanyaku
“Tentu saja. Kau gadis baik yang selalu memahamiku. Kau gadis lugu yang tak ingin merepotkanku tapi malah membuatku semakin khawatir. Kau gadis yang pandai memasak, membersihkan rumah dan penurut. Kau gadis yang menurut ibuku layak untukku. Kau gadis yang paling ingin aku bahagiakan. Kau gadis yang terus ingin kugenggam tangannya agar selalu berada di sisiku. Dan kau gadis yang paling kucintai” katanya. Dari matanya dapat kurasakan kesungguhan. Dari suaranya dapat kurasakan keyakinan. Kembali kurasakan airmata mengalir. Kali ini ia hanya tersenyum.
“Yakinlah kau layak untukku. Seperti kau yang selalu berpikir aku terlalu layak untukmu” katanya lagi. Aku hanya mampu tersenyum dan mengangguk dalam tangis.

Aku berjanji kali ini aku akan berpikiran apa adanya. Tanpa ada rasa takut dan khawatir didalamnya. Tanpa ada perasaan atau pikiran buruk tentangnya. Dan tanpa membiarkanku merasa sedih dan sakit karena hal yang semu dan belum tentu. Membiarkannya mengalir seperti air tanpa cemas ia akan menabrak bebatuan. Karena ia kan tetap mengalir, hidupku.

Untuk kali ini dan seterusnya aku ingin mempercayainya. Aku ingin yakin pada diriku juga. Aku ingin membuktikan diriku layak untuknya. Aku ingin bersamanya. Aku ingin berhenti berpikiran buruk tentang masa depan kami. Menghadapinya dengan berani. Apapun itu yang akan terjadi.

0 komentar:

Posting Komentar